Tasyakuran penganugrahan Pahlawan Nasional kepada Ki Bagus Hadikusumo, disampaikan oleh Dr. Aidul Fitrichiada, dosen Fakultas Hukum UMS, calon Komisi Yudisial, di GOR Universitas Muhammadiyah Surakarta, diprakarsai oleh Mahasiswa Fakultas Agama Islam, 15 Nopember 2015 pkl 19:00-23:30. Isi dari pidato Aidul Fitri adalah merefleksikan peran Ki Bagus Hadikusumo yang sangat penting bagipeletakan dasar-dasar negara dan tonggak pembangunan bangsa, yang merupakan representasi peran tokoh Islam dan Muhammadiyah.
Selain itu, Prof. Sudarnoto Abdul Hakim, ketua Majelis Dikti Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga mengirim naskah/makalah kepada kami berkontribusi dalam tasyakuran Ki Bagus Hadikusumo, di malam tersebut. Narasi berikut dikutip dari tulisan/makalah Sudarnoto Abdul Hakim, yang berjudul SEJARAH DAN PEMIKIRAN KI BAGUS HADIKUSUMO, 2015. (ma’arif jamuin)
“Seluruh tekanan psychologis tentang hasil atau tidaknya penentuan Undang-undang Dasar diletakkan di atas pundak Ki Bagus Hadikusumo,”[1] begitu penjelasan Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya. Beberapa tokoh (Mr. Teuku Hassan, Abd. Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimejo) mencoba berbicara dengan Ki Bagus soal ini.[2] Dalam waktu kurang 15 menit Ki Bagus memberikan jawaban menerima pencoretan 7 kata Islami dalam Piagam Jakarta demi keutuhan dan persatuan bangsa dengan syarat kata-kata setelah Ketuhanan diganti dengan Yang Maha Esa, sehingga menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Usul ini diterima. Ketika Prawoto bertanya tentang arti Ketuhanan Yang Maha Esa ini, Ki Bagus menjawab “Tauhid.” Ki Bagus kembali mengajukan amandemen, rumus Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab dirubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Usul amandemen ini juga diterima. Itulah sebabnya Projokusumo mengatakan bahwa kunci Pancasila sebetulnya ada di tangan Ki Bagus.[3] Jika kunci Pancasila ini tidak diberikan dan jika Ki Bagus menolak usulan pencoretan 7 kata serta jika Ki Bagus memimpin sebuah perlawanan kepada negara, seperti yang dilakukan oleh Kartosuwiryo karena terkecewakan oleh proses-proses politik yang terjadi, maka sejarah perkembangan bangsa dan negara Indonesia akan berbeda. Meskipun secara pribadi kecewa, akan tetapi Ki Bagus tetap tampil sebagai seorang pemimpin muslim patriot dan nasionalis yang sederhana dan ulet/tangguh yang telah memberikan sumbangan politik dan konstitusional yang sangat besar bagi bangsa.
Dalam kaitan ini maka tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa, pertama, Pancasila adalah hadiah terbesar umat Islam dan kuncinya adalah Ki Bagus Hadikusumo. Kedua, kesatuan bangsa sangatlah penting dan apa yang dilakukan oleh Ki Bagus memberikan gambaran yang jelas pembelaannya terhadap NKRI dan terhadap nasionalisme.Ketiga, pandangan dan sikap kebangsaan Ki Bagus ini haruslah menjadi pandangan seluruh elemen bangsa dan karena itu merupakan kewajiban untuk merawat dan menjaga Bangsa dari segala bentuk rongrongan dan memajukan Indonesia menjadi sebuah bangsa yang besar, bermartabat dan dihormati.
[1] Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara Sebuah Proyeksi (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), 35.
[2] HS. Prodjokusumo, “Kunci Pancasila di Tangan Ki Bagus Hadikusumo,” Suara Muhammadiyah, No. 8/63 (1983): 24-25.
[3] Projokusumo, “Kunci Pancasila.”