Kader Muhammadiyah go Global

Kader Muhammadiyah Go Global (Oleh Ahmad Najib Burnhani)

Pertama, saya harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehormatan yang diberikan oleh UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) yang berkenan mengundang saya hadir di kampus ini. Tujuan dari kuliah umum ini adalah berbagi informasi dan pengalaman tentang dan bagi kader-kader Muhammadiyah agar kita secara bersama-sama bisa go global. Tentu semangat ini merupakan bagian dari misi Muktamar Muhammadiyah yang ke-47 di Makassar yang menggarisbawahi pentingnya internasionalisasi bagi Muhammadiyah.

Hal yang selalu saya hindari dalam berbicara di depan publik sebetulnya untuk berbicara tentang “saya, saya, saya…”. Bahwa saya telah berhasil, bahwa saya telah mencapai sesuatu, bahwa saya bla… bla… bla… Saya takut berbicara seperti itu. Takut kuwalat. Takut menjadi arogan, sombong, jumawa. Takut suatu saat perjalanan itu justru berbalik arah. Biarlah cerita-cerita tentang itu saya sampaikan nanti menjelang saya meninggal dunia, ketika kemungkinan perubahan masa depan tinggal sedikit lagi. Ketika saya sampaikan saat ini, sepertinya hidup saya masih separuh jalan dan masih banyak kemungkinan yang akan terjadi pada masa-masa yang akan datang. (ma’arif jamuin)

Saya sudah diminta makalah oleh Pak Ma’arif Jamuin berkali-kali dan diingatkan tentang deadline berkali-kali. Tapi saya merasa tidak memiliki keberanian besar untuk segera mengirimkannya. Apalagi jika fokus dari makalah adalah tentang saya sendiri. Karena tujuan dari kuliah umum ini adalah memotivasi mahasiswa agar go internasional, saya mencoba untuk melibatkan kisah dari banyak orang yang memiliki kisah menarik dalam kaitannya tentang go global. Ini terutama untuk meminimalkan self-centered stories (cerita yang berpusat pada diri saya sendiri).

Untuk menegaskan bahwa ini kegiatan akademik, bukan semata kelas motivasi, materi kuliah ini akan saya bagi menjadi beberapa tema, yaitu: Pertama, mengapa kita perlu bicara tentang “kader Muhammadiyah” dan “go global”? Apa pentingnya go global? Kedua, kisah-kisah dan beberapa kategori tentang berbagai jalan yang ditempuh oleh mahasiswa Indonesia untuk bisa kuliah ke luar negeri. Di bagian ini juga akan dibahas tentang beberapa tipe beasiswa ke luar negeri. Ketiga, beragam model kehidupan mahasiswa di luar negeri? Apa karakter pendidikan dari pendidikan di Eropa, Amerika, Timur Tengah, Australia, dan negara-negara lain? Semoga tiga bagian yang saya sampaikan ini bisa memenuhi harapan dari panitia dan peserta tentang kehadiran saya di sini.

Mengapa Go Global?

Untuk memulai bagian ini, saya ingin mengutip pernyataan dari Kofi Annan, mantan Sekretaris Jenderal PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa). Ia menyatakan, “Arguing against globalization is like arguing against the laws of gravity”. Apa artinya? Kita, umat manusia, baik setuju ataupun tidak seetuju, tidak akan dapat menolak lagi fenomena globalisasi. It is our today reality, it is our history. Saingan kita dalam berbagai sector kehidupan itu bukan hanya dari saingan-saingan tradisional seperti NU, Kristen, China, atau Arab. Saingan kita semakin banyak dan hadir di tengah kita. Kita hanya akan menjadi sopir, satpam, OB (office boy), dan tukang parkir jika tidak bisa bersaing di dunia global. Tidak ada yang mampu membendung arus globalisasi ini. Orang bisa melakukan sweeping terhadap orang asing, membangun komunitas eksklusif, memblokir beragam media, dan sejenis. Tapi pengaruh dari luar itu tetap merembes melalui beragam cara. Cara menghadapinya bagaimana? Belajar dari kampus-kampus yang menjadi pusat dari hegemoni dunia, dan itu saat ini masih banyak yang berada di luar negeri. Artinya, kita dituntut untuk belajar di luar negeri untuk bisa meningkatkan daya saing kita.

Apa yang ditawarkan oleh negara lain dan juga pendidikan di negara asing? Jika kita pertama kali menjejakkan kaki di luar neger, maka segala hal dalam kehidupan di sana adalah baru dan berbeda dari yang selama ini kita alami. Seluruh peristiwa adalah baru. Makanya, kita akan melihat orang yang di luar negeri akan menulis pengalamannya menyusuri sungai nil, tentang kehidupan masyarakat Arab yang berbeda dari yang selama ini kita bayangkan sebagaimana ditulis oleh Sumanto Al Qurtuby. Kita sering melihat bahwa kehidupan di Amerika itu seperti dalam film-film yang banyak pembunuhan, koboi, pergaulan bebas, dan sebagainya. Banyak hal yang berbeda antara imaginary kita dan realitas ketika hadir di negera tersebut. Apa yang Anda bayangkan tentang kehidupan di Jepang? Seperti apa kehidupan di India? Di AS? Di Arab? Apa yang kita bayangkan itu merupakan hasil produksi dari media yang tak sepenuhnya menggambarkan realitas. Ketika anda hadir di sana, apakah lantas anda mengetahui secara utuh tentang negara tersebut? Belum tentu juga karena keterbatasan kita dalam melihat dan mengamati. Tapi paling tidak kita bisa mengkonfirmasi apa yang selama ini kita dengar atau baca. Dan biasanya, kita akan menemukan banyak hal yang berbeda dari yang selama ini kita dengar atau baca.

Ungkapan Eric Fromm berikut ini menarik untuk dikutip: I hear I forget, I see I remember, I do I understand. Memang, kita bisa tahu tentang Singapura, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan lain-lain dengan meng-google, membuka wikipedia, youtube, dan seterusnya. Tapi rasanya berbeda sekali dengan pengalaman langsung, kehadiran, menjadi eye-witness. Kita merasakan langsung, kita menyentuhnya, kita menghirup udaranya. Banyak mahasiswa yang menuliskan perjalanannya di luar negeri, terutama di awal kehadiran, ketika segala hal tampak menarik dan baru. Di Belanda, misalnya, bagaimana gereja-gereja yang megah kini menjadi bar, bagaimana mereka mencintai makanan Indonesia, bagaimana kanal-kanal mereka yang bersih, bagaimana kehidupan para eks-tapol / napol atau exile dari Indonesia? Bagaimana mereka masih menggunakan nama-nama jalan dari nama-nama kota di Indonesia? Bagaimana profesornya yang hafal nama-nama puluhan pulau di Indonesia? Ketika orang berkunjung ke Singapura, Jepang, Thailand, Libya untuk pertama kali, pasti banyak kesan yang akan menjadi sumber pembicara dala waktu yang lama dari orang tersebut. Terlebih kalau itu satu-satunya negera asing yang dikunjunginya. Melihat itu akan memuat seseorang lebih mdah untuk terus mengingatnya.

Strategi ke Luar Negeri

Untuk pertanyaan ini, tentu jawaban yang lebih mudah adalah dengan melalui beasiswa yang sudah diberikan dari Indonesia. Diantaranya melalui jalur-jalur beasiswa yang sudah terkenal seperti Fulbright, Ford Foundation, Chevening, dll. Masing-masing beasiswa itu memiliki trik yang berbeda dalam setiap wawancara dan cara menjawabnya. Karena lembaga-lembaga itu ingin menggaet orang yang berbeda. Tapi, selain dari beasiswa-beasiswa itu, banyak cara yang ditempuh oleh orang Indonesia untuk bisa ke luar negeri. Diantaranya adalah: Dengan mencari beasiswa dari kampus, dengan memasuki kampus yang tidak begitu ternama sebagai batu lompatan dan sambil bekerja di luar untuk menopang hidup, menikah dengan orang asing dan sekolah di sana (ini terjadi dalam beberapa kasus di Jepang).

Yang paling sudah dalam mencari beasiswa itu adalah yang pertama, memecahkan telur. Ada orang yang mencoba sekali dan langsung dapat. Ada yang mencoba lebih dari sepuluh kali dan beru yang ke-19 dia berhasil ke luar negeri. Problem yang paling umum adalah bahasa Inggris. Banyak yang memulai pendidikan di luar negeri bukan dengan cara langsung kuliah, tapi dengan menghadiri konferensi, seminar, atau exchange program, summer program, dan sejenisnya. Itu akan membuka wawasan untuk ingin kembali ke sana. Saya pertama kali ke luar negeri tahun 1997 untuk mengikut acara WAMY (World Association of Muslim Youth), mewakili IMM. Bagi saya, peristiwa itu akan memberikan wawasan luar biasa, membuka perspektif baru, membuat pikiran kita terus melakukan perbandingan. Setiap tempat yg kita kunjungi akan memiliki arti istimewa. Ini Singapura ya. Kita akan bercerita banyak kepada teman2 kita tentang Singapura. Pengalaman teman-teman ke luar negeri yg pertama selalu menjadi bahan omongannya. Rizaluddin Kurniawan, misalnya, pergi ke Libya dan selalu bercerita tentang Muammar Qadafy dan Libya. Wahid Ridwan yang ke USA juga terus bercerita tentang negara itu. Ini sama seperti pengelaman orang yang pergi berhaji atau umrah pertama kali. Pasti banyak hal yang ingin diceritakan kepada semua orang, entah tentang pasirnya, hajar aswad, ketemu orang yang hitam-hitam, tentang pasar, dan seterusnya. Dana peristiwa ini membuat kita untuk terus berusaha mengulang lagi, untuk ke luar negeri kembali.

Bagaimana kira-kira kehidupan atau cara belajar mereka yang sekolah di luar negeri? Ada beberapa karakter orang yang belajar ke LN: 1) Ada yang sepenuhnya menjadi traveler, selama menempuh pendidikan, ia banyak menghabiskan waktunyauntuk jalan2. 2) Ada yang sibuk dengan facebook & twitter, selalu mengupdate aktivitasnya di luar negeri untuk komunitas di Indonesia. Ia sibuk menjawab Komentar-komentar orang dan kadang kelupaan dengan kuliahnya. 3) Ada yang sibuk mencari uang, bekerja apa saya saja seperti loper koran, di kebun, bersih-bersih, berjualan dan seterusnyast. Tentu ini bagus untuk kemandirian, tapi banyak yang kemudian lupa dengan sekolahnya. 4) Beberapa orang lebih aktif dalam kegiatan ke-Indonesiaan, bersama KBRI/KJRI atau perkumpulan orang Indonesia seperti PPI atau Permias atau kelompok pengajian keagamaan dalam komunitas Muslim atau Kristen atau agama lain.

Dalam bagian perbandingan kampus-kampus di luar negeri, saya akan lebih fokus kepada yang berkaitan dengan pendidikan Islam karena acara ini diadakan oleh PAI. Dulu yang disebut sebagai center for Islamic learning itu hanya Mekkah, Madinah, dan Mesir. Sekarang sudah terjadi apa yang disebut sebagai dispersion of the center of Islamic learning. Banyak tempat baru yang menjadi pusat studi Islam, seperti Qum di Iran, Chicago di USA, Leiden di Belanda, SOAS di Inggris, dan seterusnya. Masing-masing memiliki karakter yang berbeda.