Daya Pikat Sekolah Islam

Oleh: Dr. Mohamad Ali, S.Ag (Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Perkembangan mendasar dalam kehidupan keagamaan di Indonesia kontemporer adalah kemajuan pesat sekolah Islam. Daya pikatnya terletak pada tata kelola profesional dan pengembangan budaya sekolah Islami dan bermutu.

Sungguh mengejutkan, fenomena baru ini nyaris luput dari perhatian publik. Minimnya perhatian publik disebabkan dua hal. Pertama, kerja di lintasan pendidikan merupakan arus bawah yang sunyi dari jepretan kamera.

Perubahannya sangat pelan sehingga orang yang hanya melihat sekelebatan tidak mampu menangkap denyut perubahan itu. Kemungkinan kedua, perhatian publik tengah tertuju pada pergumulan politik yang menguras energi dan pikiran.

Terlepas dari dua hal itu, bukan sikap bijak bila kita mengabaikan pendidikan karena ia bersentuhan dengan hajat hidup publik.

Dalam dua dasawarsa terakhir, bangsa Indonesia memasuki era politik yang melahirkan cara berpikir sarwa politik. Imbasnya, bidang lain yang tidak bersentuhan dengan politik pun disangkutpautkan dengan politik, tidak terkecuali pendidikan.

Singkat kata, pendekatan politik telah merasuki alam pikiran sedemikian rupa sehingga inovasi sekolah Islam ini pun kemudian ditafsirkan sebagai menguatnya radikalisme Islam yang layak diwaspadai.

Menafsirkan kemajuan pendidikan Islam sebagai perluasan dan penguatan radikalisme ataupun populisme Islam, bukan sudut pandang yang tepat. Apabila cara pandang ini terus dipegang, tentu kontraproduktif dan menyesatkan.

Untuk mengurai itu, diperlukan sudut pandang baru, yakni teropong sosio-historis. Dengan teropong ini, suatu dinamika dilihat dari dimensi internalnya, baik sinkronis maupun diakronis, melalui mata rantai sejarah dan fase perubahan sosial umat Islam.

Secara hipotetik dapat dirumuskan, ciri menonjol sekolah Islam ‘baru’ adalah secara institusional memilih pola sekolah sehari penuh dan pola berasrama, tata kelola profesional, mengembangkan budaya sekolah unggul dan Islami.

Selain itu, mutu akademik tinggi, pendidikan agama bukan hanya text book melainkan melalui pembiasaan, dan pengajaran tahsin-tahfid Alquran dilakukan penuh kegembiraan. Wajah sekolah Islam model baru inilah yang menjadi daya tarik publik.

Khususnya, bagi kelas menengah santri yang tengah tumbuh. Mereka menginginkan buah hatinya memiliki kemampuan akademik tinggi sekaligus memahami dan meresapi ajaran Islam, serta memiliki hafalan Alquran minimal satu juz sampai 30 juz.

Perkembangan baru pendidikan Islam kontemporer ini tentu membingungkan para analis sosial.

Perubahan yang berlangsung selama itu, tandas Karel A Steenbrink (1994:103), merupakan suatu proses penyesuaian diri sistem pendidikan asli Indonesia (baca: pesantren) kepada sistem pendidikan Barat.

BJ Boland (1985: 120) menyebut adanya krisis pesantren (baca: sekolah Islam) yang tidak mampu mengikuti derap langkah pendidikan Barat. Tesis Steenbrink dan Boland merupakan simpulan atas pengamatan saksama situasi pendidikan Islam dekade 1970-an.

Artinya, hal itu tepat untuk memotret situasi pada masanya, tetapi sudah tidak relevan lagi untuk membaca situasi pendidikan Islam kontemporer. Untuk memudahkan memahami konteks perbedaan waktu, perlu pembabakan sejarah yang dikenal periodisasi.

Pembabakan sejarah, berdasarkan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Dalam Negeri tahun 1975 tentang peningkatan mutu pendidikan pada madrasah.

SKB ini pengakuan pemerintah bahwa madrasah, yang mengajarkan sekurang-kurangnya 30 persen mata pelajaran umum, disetarakan dengan sistem sekolah. Jadi, pendidikan Islam (baca: madrasah) terintegrasi, bukan lagi anak tiri, dalam sistem pendidikan nasional.

SKB menjadi titik yang membedakan tema dan orientasi pengembangan pendidikan Islam. Tema yang mengemuka sebelum SKB adalah ‘konvergensi’ dan ‘integrasi’ antara ilmu agama dan ilmu umum.

Meminjam istilah Steenbrink, periode ini ditandai dengan proses penyesuaian diri sistem pendidikan asli Indonesia (baca: pesantren) kepada sistem pendidikan Barat, baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah Islam.

Dengan SKB ini, orientasi pengembangan pendidikan Islam untuk mengintegrasikan diri dalam sistem pendidikan nasional tercapai. Namun, ini tidak menyurutkan pelaku pendidikan Islam untuk mengembangkan diri.

Pasca-SKB, terjadi perubahan tema pengembangan pendidikan Islam, dari orientasi ‘integrasi’ kepada ‘pencarian jati diri’, suatu upaya menemukan ciri khas pendidikan Islam di tengah-tengah taman pendidikan nasional. Perubahan ini berimplikasi pada perubahan strategi gerakan dari pola sentripetal ke sentrifugal.

Dalam gerakan sentripetal, orientasi pengembangan pendidikan menuju pada pusat lingkaran (baca: sistem sekolah/pendidikan nasional). Dalam pola ini, orientasi pengembangan pendidikan Islam cenderung monoton dan bergerak ke satu arah, yakni sistem sekolah.

Kebalikan dari strategi sentripetal adalah gerakan sentrifugal yang berusaha menjauhi pusat lingkaran. Artinya, proses inovasi sekolah dengan melakukan pencarian jati diri, baik dengan berkaca pada sejarah, melihat kebutuhan masyarakat, maupun visi masa depan.

Dalam pencarian jati diri ini, secara hipotetik ada tiga orientasi filsafat sekolah Islam, yakni perenialisme, esensialisme, dan progresivisme. Orientasi perenialisme menghendaki sekolah Islam dikembalikan pada suasana zaman salaf secara verbatim (baca: regresif). Ciri menonjolnya adalah pengarusutamaan hafalan Alquran dan pemeliharaan kebiasaan kaum salaf seperti cara berpakaian.

Berbeda dengan kaum perenialis, orientasi pendidikan kaum esensialis menekankan keagungan tradisi keilmuan Islam berupa khazanah kitab kuning sebagai gudang ilmu (baca: generasi imam mazhab fikih).

Pendidikan dimaknai sebagai penyerapan terhadap keilmuagamaan klasik sebagai bekal untuk kehidupan masa kini. Sekolah Islam yang berorientasi perenialis bercorak regresif, esensialis bercorak tradisionalis, sedangkan progresivisme bercorak progresif.

Kaum progresif menghargai generasi salaf secara substantif dan menghargai imam mazhab secara manhaji. Bahan-bahan itu diolah sedemikian rupa sehingga peserta didik memiliki pengalaman aktual sebagai bekal memecahkan kehidupan yang tengah dihadapi.

Baik yang berorientasi perenialis, esensialis, maupun progresif ditantang memformulasikan sekolah model baru yang dapat memikat publik.

Umumnya, sekolah Islam yang mampu memikat publik mutu akademiknya bagus, budaya sekolah bagus (bersih, disiplin, ramah anak), dan diliputi suasana religius (pembiasaan shalat berjamaah, hafalan Alquran).

Secara historis, kehadiran sekolah Islam model baru ini awalnya (baca: 1980-an) terbatas di kota-kota besar ibu kota provinsi. Ia terus tumbuh dan sejak 2000-an mulai merambah kota-kota kabupaten, dan saat ini menembus kota-kota kecamatan di pelosok Tanah Air.

Institusi pendidikan Islam adalah corong dakwah paling efektif untuk penyiaran/dakwah Islam. Tanpa kehadiran sekolah Islam, menurut Clifford Geertz (2013:255), di Indonesia tidak akan ada apa yang disebut masyarakat Islam.

Dengan hadirnya sekolah Islam model baru yang bermutu ini, pada gilirannya melahirkan masyarakat Islam berkualitas.