Pandemi covid-19 memukul telak seluruh sendi kehidupan, tidak terkecuali dunia pendidikan. Hampir tiga bulan proses belajar-mengajar dilakukan dari rumah, sekolah dan kampus menjadi lengang. Dalam keadaan demikian, pengelola sekolah ditagih kreatifitasnya untuk menjaga ritme pendidikan tetap berada di jalur yang benar sesuai sains dan syariah.
Pada saat bersamaan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk tahun mendatang, meniadakan dan menghapus Ujian Nasional (UN). Seperti diketahui, UN merupakan salah satu tolak ukur untuk memahami keberadaan/posisi sekolah dalam suatu kabupaten-kota, propinsi, bahkan nasional. Ketiadaan tolak ukur mutu lulusan secara nasional, jelas menjadi pekerjaan rumah tidak ringan bagi pengelola sekolah yang peduli mutu pembelajaran.
Mencari Identitas Baru
Dua masalah tersebut di atas, menjadi fokus perbincangan hangat di kalangan pengelola, komite, maupun tim pengembang perguruan Muhammadiyah Kottabarat. Setelah melalui diskusi internal yang panjang, akhirnya ditemukan jalan keluar.
Yaitu, berupaya memperkuat kembali identitas perguruan dengan “Kurikulum Syariah”-nya yang diperkaya dengan wawasan mutu internasional, seperti Programme Internationale Students Assesment (PISA).
Perlu ditambahkan bahwa, sejak tahun 2003 di bawah bimbingan Prof. Moch. Sholeh YAI, Ph.D (konsultan ahli-pemegang HAKI), Perguruan Muhammadiyah Kottabarat berupaya mencari identitas baru pendidikan Muhammadiyah.
Kolaborasi-sinergi antara pakar dengan praktisi ini berhasil menelorkan sejumlah gagasan dan produk pendidikan.
Setidaknya ada dua produk ijtihad pendidikan yang monumental, yaitu: “Kurikulum Sekolah Syariah: Tarbiyah untuk Optimalisasi Fitrah Tauhid (2005) dan segera diikuti dengan “Sumber dan Panduan Proses Tarbiyah Kurikulum Syariah: Untuk Murid, Orang Tua, Guru, dan Masyarakat” (2007).
****
Ini dalam bentuk Buku Teks Sain Syariah 1. Dalam peluncuran Buku Teks Sains Syariah juga diluncurkan Pusat Studi dengan nama Pusat Riset Pengembangan Implementasi Kurikulum Syariah (PRPIKS).
Warisan intelektual dan ijtihad pendidikan yang monumental ini, semenjak Prof. Sholeh wafat pada 2008, tidak dikembangkan lebih lanjut. Meski demikian, kerangka pengembangan sekolah dan arah pembelajaran tetap mengacu pada kedua produk itu. Justru di saat-saat kritis seperti ini muncul kegairahan baru untuk melihat kembali tradisi dan warisan intelektual yang amat berharga secara lebih seksama.
Sebelum masuk inti bahasan, suatu penjelasan ringkas tentang mengapa Kurikulum Syariah harus hadir, perlu mendapat perhatian. Dengan memahami latar dan konteks masalah yang menggelisihkan dan menggerakkan Prof. Sholeh bersama teman perguruan, pembaca diharapkan dapat menangkap api pembaruan pendidikan yang menjadi lanskap baru perguruan Muhammadiyah Kottabarat.
Krisis Pendidikan Umat Islam
Kesadaran adanya krisis pendidikan umat Islam mulai dirasakan sejak awal abad ke-20, bersamaan dengan munculnya Gerakan Modern Islam. Kesaadaran itu semakin kuat ketika satu-satu bangsa Muslim mulai menghirup kemerdekaan, dan mencapai puncaknya pada dekade 1980 (Ashraf, 1989; Husain &Asharaf, 1986).
Bahkan Sidi Gazalba (1970), intelektual Indonesia yang bermukim di Malaysia, menandaskan bahwa pendidikan merupakan masalah terbesar kurun kini yang menentukan nasib umat.
Masa depan umat Islam sangat ditentukan oleh keberhasilan setiap generasi dalam membangun system pendidikannya. Secara garis besar, krisis pendidikan yang mendera umat Islam dapat dilihat dari tiga konteks yang berbeda, yaitu konteks global-internasional, konteksnasional, dan konteks persyarikatan.
****
Konteks global berkaitan dengan munculnya kesadaran di kalangan cendekiawan muslim bahwa, pengkajian ilmu dan teknologi di Barat telah kehilangan jangkar transendental, sehingga merusak alam. Di sebelah lain, pengkajian ilmu dan teknologi di dunia Muslim masih lemah dan jauh tertinggal.
Kalangan intelektual Muslim international memberikan solusi yang beragam untuk mengatasi krisis ini. Ismail R. al-Faruqi menggagas “Islamisasi Pengetahuan”, Muhammad al-Naquib al-Attas menggagas “Dewesternisasi Pengetahuan”, Ziauddin Sardar menggagas “Domestikasi Pengetahuan”, untuk menyebut beberapa intelektual yang perannya menonjol.
Pendidikan Menjauh dari Realitas Kehidupan
Di sebelah lain, dalam konteks nasional, setelah merdeka pola kebijakan pendidikan memilih melanjutkan begitu saja sistem sekolah yang diwariskan colonial Belanda. Padahal kotak-kotak sekolah semakin menjauh dari realitas sosial kehidupan.
Suara-suara kritis paedagog dunia, seperti Everett Reimer, Ivan Illich, ataupun Paulo Freire untuk mencari alternatif-alternatif pendidikan di luar sekolah diabaikan dan tidak digubris pemerintah.
Terakhir, dalam konteks persyarikatan. Pola sekolah Muhammadiyah yang mengajarkan ilmu-ilmu umum plus ilmu-ilmu agama memperoleh pukulan serius setelah Indonesia merdeka. Sebab, sekolah pemerintah (baca: sekolah negeri) bukan hanya mengajarkan ilmu-ilmu umum, seperti zaman Hindia Belanda, tetapi juga mengakomodasi pelajaran pendidikan agama di sekolah.
****
Pola sekolah negeri (ilmu umum plus agama) yang demikian, memberikan tantangan baru bagi sekolah Muhammadiyah. Kerena, sepintas lalu tidak ada perbedaan mendasar antara sekolah negeri dengan sekolah Muhammadiyah.
Tantangan, atau krisis identitas ini, kemudian dijawab dengan menambahkan pelajaran Kemuhammadiyahan di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Oleh karena itu, sampai saat ini tidak sedikit yang berpandangan dangkal bahwa identitas pendidikan adalah pelajaran Kemuhammadiyahan.
Sekilas Sains Syariah
Pada paragraf di atas telah disinggung bahwa, ada dua produk intelektual yang dihasilkan dari proses kolaborasi pakar-praktisi pendidikan di Perguruan Muhammadiyah Kottabarat, yaitu: “Kurikulum Sekolah Syariah” di satu pihak, dan “Sumber dan Panduan Proses Tarbiyah Kurikulum Syariah”. Produk yang kedua dikerucutkan dan diwujudkan menjadi Buku Teks Sains Syariah (untuk kelas 1).
Dalam kesempatan ini fokus pembicaraan masalah “Sains Syariah”, sedangkan perbincangan Kurikulum Sekolah Syariah akan dibicarakan pada kesempatan lain. “Sains adalah kajian alam, sedangkan Syariah ialah Al-Qur’an (Q.S. Al-Jatsiyah-45: 18).
Jadi, Sains Syariah adalah kajian alam berdasarkan Al-Qur’an. Buku ini ditulis untuk memberikan harmoni penjelasan antara kajian alam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits serta dengan cara mendekati alam itu sendiri.
Demikian penjelasan Prof. Soleh (2007) dalam kata pengantar Buku Teks Sains Syariah 1.
Dari penjelasan konseptual yang diberikan Prof Sholeh di atas, dapat ditarik pengertian bahwa, Sains Syariah adalah kajian alam berdasarkan perspektif Al-Qur’an sekaligus kajian Al-Qur’an berdasarkan pemahaman dan eksplorasi alam secara reflektif dan berkelanjutan.
Menciptakan Harmoni, Sinergi dan Refleksi
Harmoni, sinergi, dan refleksi bolak-balik antara kajian Al-Qur’an dan alam, demikian pula pemahaman dan eksplorasi alam dengan perspektif Al-Quran yang ditanamkan secara terus-menerus melalui pendidikan inklusif baik di sekolah, rumah, maupun masyarakat yang pada urutannya akan menghasilkan lulusan berkualifikasi Ulul Albab sesuai dengan taraf perkembangan anak.
Untuk memberi gambaran yang agak kongkrit tentang isi atau wujud Buku Teks Sains Syariah 1, berikut disajikan salah satu bab di dalamnya. Bab 2 tentang “Lingkungan”. Tujuan pembelajaran berupa “Aktualisasi Uluhiyah”, yaitu mengamati dan mengeksplorasi serta menceritakan bentuk kongkrit, tiruan, atau gambar berbagai lingkungan dan pemeliharanya sebagai ciptaan Allah Swt.
Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan dan eksplorasi landasanAsmaul Husna, landasan Al-Quran, Hadits yang berkaitan dengan lingkungan maupun penciptaan alam. Alternatif metode yang bisa dipilih guru, metode utama adalah eksplorasi bebas terarah, dan dibantu dengan ceramah dan tanya jawab. Selanjutnya uraian tentang konsep-konsep, kategorisasi, ilustrasi dan gambar-ganbar yang dapat memperjelas konsep tentang lingkungan.
Menjadi Panduan Proses Tarbiyah
Demikianlah sekilas gambaran tentang konsep Sains Syariah, kerangka dasar susunan buku teks, dan metode belajar yang dapat dipilih oleh guru dalam membelajarkan anak. Sesuai dengan bunyi Hak Paten, “Sumber dan panduan proses tarbiyah kurikulum syariah: untuk murid, orang tua, guru, dan masyarakat”, maka buku ini bukan sekedar buku teks pada umumnya.
Bukan teks Sains Syariah merupakan sumber dan panduan proses tarbiyah yang dialamatkan kepada murid, orang tua, guru, dan masyarakat. Oleh karena itu dalam proses implementasi diawali dengan pelatihan guru, parenting orang tua siswa. Melalui cara ini guru maupun orang tua dibangkitkan kesadaran dan tanggung jawab sebagai seorang pendidik yang harus mengoptimalkan fitrah tauhid.
Sebagai penutup, mungkin pembaca kritis akan bertanya, bukankah proses “Islamisasi ilmu” atau “pengilmuan Islam” di belahan dunia lain mulai pada tingkat perguruan tinggi? Mengapa Prof. Sholeh bersama Perguruan Muhammadiyah Kottabarat mulai dari jenjang Sekolah Dasar?
Jawabnya, persis seperti K.H. Ahmad Dahlan merintis Madrasah Ibtidaiyah Islamiyah (Sekolah Dasar Islam) pada tahun 1911, bukan mendirikan Perguruan Tinggi seperti Universitas Al-Azhar di Kairo.
Penulis adalah Kaprodi PAI UMS dan Pengasuh Perguruan Muhammadiyah Kottabarat dan Kaprodi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta