Satu-satu sekolah menengah swasta (SMP-SMA) di perkotaan runtuh. Di kota Surakarta, sejak satu dekade terakhir, setiap menjelang penerimaan peserta didik baru (PPDB), selalu muncul kabar penutupan sekolah menengah swasta. Sejumlah sekolah yang masih mampu bertahan, tidak sedikit dalam kondisi sekarat, “hidup segan mati sungkan”, karena jumlah siswa terus merosot.
Di sebelah lain, untuk jenjang Sekolah Dasar, justru sekolah negeri yang sibuk melakukan regrouping. Dua atau tiga SDN Inpres yang berdekatan dijadikan satu sekolah, dikarenakan siswa terus menurun. Dua dekade lalu memerlukan tiga ruang kelas (rombongan belajar), sekarang bisa diringkas menjadi satu ruang kelas.
Rendah Mutunya
Fenomena paradoksal di atas merupakan gejala yang menarik direnungkan. Mengapa orang tua lebih memilih menyekelohkan putra-putrinya di sekolah swasta pada saat SD, tetapi kemudian beralih ke sekolah negeri ketika mereka memasuki jenjang menengah? Benarkah pilihan itu karena faktor kualitas (baca: objektif).
Artinya, secara umum kualitas SD swata lebih unggul tinimbang SDN sedemikian rupa, sehingga orang tua lebih memilih SD swasta dari pada SDN. Sebaliknya, kualitas sekolah menengah negeri dinilai lebih unggul oleh masyarakat, sehingga mereka memilih sekolah menengah negeri.
Tetapi, tidak menutup kemungkinan ada pertimbangan subjektif (agama). Orang tua ingin memberikan dasar-dasar agama yang memadai saat SD. Hal itu bisa diperoleh di SD swasta yang berbasis keagamaan. Dasar-dasar agama pada jenjang SD sudah dianggap cukup, sehingga pada jenjang sekolah menengah mereka menyekolahkan di sekolah negeri.
****
Berdasarkan pengamatan sepintas di kancah, kedua faktor itu berpengaruh dan saling melengkapi. Artinya, bila ada sekolah menengah swasta yang kualitasnya mampu bersaing dengan sekolah negeri, maka orang tua akan cenderung memilih swasta. Sebab, di swasta anak-anak masih diajarkan pendidikan agama yang lebih memadai dari pada sekolah negeri.
Gejala runtuhnya sekolah menengah swasta (baca: Muhammadiyah) di perkotaan merupakan fenomena gunung es dan massif. Bukan hanya terjadi di kota Surakarta, tetapi hampir di setiap daerah dapat ditemui. Muhammadiyah sebagai organsiasi kemasyarakatan yang menjadikan pendidikan sebagai trademark dan core bisnis, jelas terimbas. Namun, sejauh ini belum ada langkah-langkah strategis dan sistematis menghadapai masalah ini. Penanganannya masih bersifat lokal dan parsial.
Mengapa Runtuh
Sekolah menengah swasta di perkotaan selama dua dekade terakhir menghadapi dua pukulan telak sekaligus sehingga sangat sulit untuk berkembang. Pukulan pertama, pemerintah banyak mendirikan sekolah menengah negeri (SMP-SMA-SMK) di kota-kota kecamatan (sub-urban). Oleh karena itu, anak-anak desa (kota dalam kampung) yang dulu harus ke kota untuk mengenyam sekolah menengah, sekarang sudah tersedia di lingkungan terdekat mereka dan tidak perlu jauh-jauh pergi ke kota.
Pukulan kedua, desentralisasi pendidikan dengan segala aturan ikutannya, seperti kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru dan BOS yang hanya diberikan kepada siswa yang berada dalam satu zonasi ataupun daerah. Dengan demikian, desentralisasi pendidikan semakin mempercepat keruntuhan sekolah menengah swasta perkotaan.
Secara umum “dua pukulan telak” yang menghantam dan meruntuhkan sekolah menengah swasta perkotaan merupakan suatu keniscayaan. Bukankah negara (pemerintah) berkewajiban untuk mencerdesakan kehidupan bangsa dengan menjamin ketersediaan sekolah secara merata, sehingga setiap warga negara dapat mengakses pendidikan yang layak dan berkualitas.
****
Hal ini perlu ditandaskan agar tidak ada lagi pengelola dan penyelenggara sekolah swasta yang menyalahkan keadaan maupun kebijakan pemerintah. Yang paling realistis dilakukan sekolah swasta saat ini adalah, melakukan reposisioning dan pembaruan sekolah sedemikian rupa, sehingga tetap memiliki pelanggan dan tetap dipercaya masyarakat.
Sekolah swasta adalah sekolah mandiri yang memperoleh pembiayaan dari masyarakat, bukan dari pemerintah. Masyarakat mau membiayai asalkan kualitas sesuai dengan harapan dan dambaan mereka. Logika ini jarang dipahami pengelola sekolah swasta, sehingga yang dilakukan hanya membebek dan meng-copypaste sekolah negeri. Ringkasnya, paradigma, cara berpikir, yang menempatkan sekolah swasta sebagai pelengkap (dan penderita) sekolah negeri sudah runtuh.
Secara kasat mata, paradigma usang itu terlihat ketika PPDB hanya mengharap “belas kasihan” dan gogrogan siswa yang tidak diterima sekolah menengah negeri. Dalam situasi sekarang, ketika sekolah menengah negeri pun harus berkeringat untuk mendapatkan siswa baru, maka mengharap gogrogan siswa dari sana, benar-benar tidak realistis. Laksana cebol mendirikan rembulan
Marwah Guru Hancur
Dampak paling nyata dari penurunan drastis arus siswa baru yang masuk ke sekolah mengah swasta urban adalah runtuhnya marwah guru, yang pada urutanya meruntuhkan kualitas sekolah secara keseluruhan. Tenu saja itu berujung pada menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sekolah. Indikator paling jelas penurunan kepercayaan dapat dilihat pada aliran siswa baru ke sekolah yang setiap tahun akan semakin menyusut.
Mengapa martabat guru runtuh? Mereka harus pontang-panting mencari jam mengajar tambahan untuk menutupi jumlah minimal jam mengajar yang ditetapkan pemerintah sebagai syarat mencairkan sertifikasi guru. Dalam keadaan demikian, maka tidak aneh yang terngiang di kepalanya adalah bagaiman bisa menutup kekurangan jam mengajar, bukan bagaimana terus meningkatkan kulitas pembelajaran, sehingga siswa benar-benar tercerahkan.
Perlu data lengkap untuk menghitung, berapa jumlah guru yang harus mengalami situasi demikian. Hanya saja, secara kasar, lebih dari 50% guru-guru di sekolah menengah swasta harus melakukan laku demikian. Kalu laku demikian diketahui siswa, terus bagaimana siswa memandah guru-guru mereka yang harus pontang panting dari satu sekolah ke sekolah lain.
Tentu, bukan kesalahan mutlak mereka. Begitu banyak kondisi yang memaksanya berlaku demikian. Pengelola sekolah dan penyelenggara juga turut bertanggung jawab dan harus mencari jalan keluar yang lebih sehat dan bijaksana. Bukan malah membiarkan situasi ini berlarut-larut, tanpa penyelesaian yang tuntas. Kebijakan rasionalisasi dan meritokrasi bisa menjadi alternatif untuk mengatasi dan memangkas masalah ini.
Strategi Pemecahan
Sekolah swasta berbasis keagamaan (baca: Muhammadiyah), disebut-sebut memiliki “nyawa ganda” atau dua gardan (pendidikan dan agama), sehingga memiliki umur yang relatif panjang. Secara rasional-logika pendidikan, sekolah yang siswanya satu angkatan kurang dari 10 orang, mestinya ditutup.
Sebab, secara manajerial maupun keuangan, proses belajar-mengajar tidak bisa berjalan secara sehat. Ini artinya, potensi terjadinya malpraktik sangat besar, sehingga yang berlangsung bukan proses pertumbuhan, tetapi malah pembunuhan potensi siswa.
Di sekolah berbasis agama, bila “nyawa” rasional-logika pendidikan sudah tidak berfungsi, maka bisa disambung dengan nyawa kedua, yakni agama. Menjadi guru itu ikhlas, tidak perlu mendapat imbalan uang. Dengan memakai nyawa kedua inilah tidak sedikit sekolah menengah Muhammadiyah masih bertahan; “hidup segan mati tak mau”.
Biaya operasional sekolah seadanya, gaji guru pun seadanya, dan akhirnya kinerjanya juga seadanya. Tipe sekolah “mati segan hidup sungkan”, saya sebut tipe pertama, perlu dievaluasi serius, agar tidak menimbulkan permasalahan di belakang hari.
Tipe kedua, sekolah menengah yang dulu jumlah siswa mencapai 700 orang ke atas, tetapi dalam satu dekade terakhir, tinggal separuhnya dan cenderung terus menurun. Problem mendasar yang dihadapi sekolah tipe ini adalah surplus guru bersertifikat, melebihi jumlah rombongan belajar yang ada.
Strategi Meritokrasi
Misalnya, ada 4 guru Bimbingan Konseling, tetapi berhubung jumlah siwa menurun, maka yang bisa terkaver hanya 2 guru, sedangkan guru sisanya dibiarkan “mengamen” dan menutup kekurangan jam di sekolah lain. Proses ini masih terus berlangsung, dan hampir-hampir tidak upaya untuk menangani, karena dianggap sudah umum.
Dalam situasi kritis demikian, kehadiran seorang leader yang tanggap dan solutif sangat diharapkan. Seorang leader, bisa kepala sekolah ataupun pimpinan majelis Dikdasmen, yang mengajak berbicara secara terbuka dan rasional tentang keadaan empirik sekolahnya. Jangan ada yang ditutupi, lepaskan kepentingan pribadi ataupun keluarga, rumuskan secara bersama-sama visi sekolah ke depan. Visi baru inilah yang menjadi arah dan kerangka dasar pengembangan sekolah.
Secara hipotetik, strategi penanganan sekolah tipe pertama, “mati sungkan hidup segan” diambil langkah rasionalisasi. Yakni membongkar total sumber daya manusia kemudian ditata kembali sesuai dengan kebutuhan zaman sekarang. Sedangkan untuk menangani masalah tipe kedua, “jumlah murid merosot”, yaitu strategi meritokrasi.
Ketika harus memilih 2 dari 4 orang yang ada, misalnya, maka yang dipilih adalah yang kinerjanya paling baik, bukan yang paling lama bekerja. Dengan keberanian seperti ini, maka merosotnya jumlah siswa justru bisa menjadi titik tolak memajukan sekolah. Sebab, hanya orang-orang yang berkinerja prima yang bertahan di sekolah.
Penulis Kaprodi PAI Universitas Muhammadiyah Surakarta dan Direktur Perguruan Muhammadiyah Kottabarat
Selengkapnya Baca Juga di Sini