Jalan Panjang Gerakan Pembaruan

Dr. Mohamad Ali, S.Ag.,M.Pd. (Kaprodi PAI)

Oleh: Dr. Mohamad Ali, S.Ag.,M.Pd.

Bulan Agustus tahun ini terasa sangat istimewa bagi bangsa Indonesia, negara yang berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Tiga peristiwa bersejarah terjadi secara beriringan dalam waktu berdekatan pada bulan ini.

anggal 8 Zulhijah yang bertepatan 9 Agustus 2019 adalah milad ke-110 Muhammadiyah menurut kalender Hijriah. Berselang dua hari, ada perayaan Iduladha (ibadah haji) pada 10 Zulhijah yang bertepatan 11 Agustus 2019, dan dipungkasi ulang tahun ke-74 kemerdekaan Republik Indonesia.

Tatkala tiga peristiwa besar dan bersejarah ini dirayakan hampir bersamaan, tentu bukan peristiwa biasa yang dibiarkan berlalu begitu saja. Di balik itu tentu mengandung pelajaran berharga yang patut direnungkan.

Secara hipotetis ada satu benang merah yang menghubungkan dan mendasari tiga peristiwa besar ini, yaitu dentuman besar yang menyuarakan gerakan pembaruan dalam kehidupan beragama dan berbangsa.

Seruan untuk menyegarkan kembali kehidupan beragama dan berbangsa saat ini sangat relevan. Terlebih bangsa Indonesia baru merampungkan hajatan demokrasi lima tahunan yang menguras energi bangsa. Eksperimen demokrasi melalui pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif secara serentak memunculkan benih-benih keretakan.

Bila tidak segera diatasi berpotensi mengancam kesatuan bangsa. Oleh karena itu, rangkaian perayaan tiga peristiwa bersejarah ini diharapkan dapat merekatkan kembali ikatan kebangsaan. Perlu ditandasakan bahwa pembaruan adalah suatu proses, cara, dan perbuatan memperbarui yang berlangsung terus-menerus sepanjang masa.

Dengan kata lain, dalam suatu gerakan pembaruan tidak mengenal kata final (akhir), yang ada adalah kata proses memperbarui diri (bangsa/agama) secara berkelanjutan. Ketika ia menemukan finalitas, maka sesungguhnya bukan lagi sebagai suatu gerakan pembaharuan, tetapi suatu gerakan tradisional.

Demikianlah, bila ditarik jauh ke belakang, awal kelahiran Muhammadiyah adalah suatu gerakan pembaruan agama dan sosial yang berupaya menggerakkan rakyat pribumi yang melarat, terbelakang, dan terjajah agar menjadi bangsa yang merdeka dan berkemajuan.

Oleh karena itu, resepsi milad Muhammadiyah harus dimaknai sebagai ikhtiar menggali kembali api (bukan arang) pembaruan Islam, yang pada urutannya dapat dijadikan suluh untuk menerangi perjalanan warga Muhammadiyah menggumuli masalah-masalah sosial yang di depan mata.

Searah dengan itu, perayaan Iduladha dilakukan dalam rangka menyegarkan kembali cara beragama. Memupus corak keberagamaan yang dipenuhi kebencian dan nafsu amarah (sifat-sifat kebinatangan) menuju suatu corak keberagamaan yang hanif dan tulus, sebagaimana dicontohkan Nabi Ibrahim AS.

Selengkapnya . . .